Masih ingat polemik ‘jual-beli’ lahan dan aksi ‘penebangan liar’ di kawasan Register38 Gunung Balak? Ternyata, di dalam kawasan itu sekarang sudah ada desa definitif serta fasilitas umum. Gakkum KLHK dan APH pun tak berkutik. Ini yang membuat geram UPTD KPH Gunung Balak
Sukadana – Kerusakan kawasan hutan lindung Register38 Gunung Balak Lampung Timur agaknya semakin menjadi. Sebab, tak hanya aksi penebangan liar saja. Tapi, isu seputar jual beli tanah kawasan pun semakin mengemuka.
Warga sekitar penginformasikan, isu jual beli tanah kawasan itu terjadi di dua wilayah kecamatan yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Bandar Sribawono dan Kecamatan Sekampung Udik, Lampung Timur.
Mendengar kabar ini, pihak Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Gunung Balak dibuat geram karenanya. Apalagi, jual beli berlangsung itu di bawah tangan, tanpa sepengetahuan pihak Dinas Kehutanan maupun UPTD KPH Gunung Balak.
Hal itu diketahui, dari pengakuan Nengah, salah seorang warga saat dikonfirmasi wartawan, beberapa waktu lalu. Warga tersebut mengatakan, memiliki tanah di lahan kawasan register perbatasan atara Desa Bandar Agung dan Dusun Srikaton.
“Tanah yang saya garap ini, adalah hasil membuka lahan sendiri,” aku Nengah, warga Desa Brawijaya, Kecamatan Sekampung Udik.
Sedangkan lahan garapan yang terletak bersebelahan dengan milik Nengah, kata dia, merupakan tanah orang lain. “Kalo kabun sebelah itu, punya pak Suwarte. Dapat beli setengah hektar seharga 250 juta rupiah. Kalau untuk suratnya (surat tanah), cuma oret-oret saja dari RT, Bayan atau Lurah,” kata dia.
Informasi lain dari salah seorang warga Desa Bandar Agung, Kecamatan Bandar Sribawono yang enggan namanya ditulis, mengatakan bahwa warga Bandar Agung sudah sejak dulu bayar pajak (tanah).
“Dari awal berdirinya Desa Bandar Agung ini, kami sudah diajukan pajak,” kata dia.
Menyikapi hal ini, Gunaidi, Kepala UPTD KPH Gunung Balak geram mendengar informasi itu. Gunadi mengatakan, kegiatan penebangan pohon di kawasan Register38 Gunung Balak dipastikan tanpa izin pihak Dinas Kehutanan.
“Yang jelas, kegiatan itu (penebangan liar) merusak hutan lindung. Saya sangat geram mendengar informasi ini, karena kegiatan itu tidak ada izin dari pihak Kehutanan,” kata Gunaidi, di ruang kerjanya, Senin (27/11/2023).
Menurutnya, KPH Gunung Balak kekurangan personel untuk menjangkau wilayah kawasan hutan lindung Register38 yang luasnya mencapai 22.292,5 hektar. “Makanya kami baru mengetahui hal ini sekarang,” ungkap dia.
Untuk menindaklanjuti polemik ini, Gunaidi menjelaskan, KPH Gunung Balak terkendala aturan baru. “Peraturan yang baru ini kan, hanya memposisikan KPH Gunung Balak sebagai fasilitator. Kewenanganya terbatas,” kata dia pula.
Meski begitu, ujar Gunaidi, jika pihaknya menangkap tangan akso penebangan liar maupun jual beli lahan garapan, maka KPH bisa langsung menindak para pelaku. “Kalau untuk penindakan para pelaku, itu wewenang Gakkum KLHK dan APH,” jelasnya.
Gunaidi mengakui, ada desa definitif yang berdiri di atas lahan register tersebut. Hal ini tidak bisa dipungkiri, bahkan terdapat pula berbagai fasilitas umum di dalamnya, hingga kucuran Dana Desa (DD) untuk pembangunan. “Ini dilematis. Karena, jelas-jelas telah merubah bentang alam,” ucapnya.
Untuk kawasan definitif pemukiman, menurut hematnya, bisa diusulkan kepada Kementerian KLHK, mendasari Peraturan Menteri (Permen) KLHK Nomor 7/2021.
Di pihak lain, Heri, Kanit Polhut KPH Gunung Balak justeru berpendapat lain menyikapi adanya aksi penebangan liar di Register38. Menurutnya, Polhut KPH Gunung Balak bisa saja menindaklanjuti laporan masyarakat terkait perusakan hutan, apalagi jika tertangkap tangan.
“Secepatnya kami akan survei ke TKP untuk memastikannya dan meneruskan persoalan ini ke Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, untuk selanjutnya dilimpahkan ke Gakkum KLHK,” kata Heri.
Tidak Dibenarkan
Hal menarik dari hasil wawancara wartawan ke UPTD KPH Gunung Balak ini, ternyata di ruang kerja Kepala UPTD tersebut sedang dikunjungi Meswantori, selaku Kasi KSDAE Dinas Kehutanan Provinsi Lampung.
Dimintai tanggapannya, Meswantori menekankan, bahwa tanah di kawasan hutan lindung yang sudah disahkan oleh Negara, tidak dibenarkan untuk diperjualbelikan oleh masyarakat, maupun dikenakan wajib pajak.
“Jika memang ada bukti yang membenarkan bahwa tanah kawasan hutan lindung Register38 itu dikenakan pajak, silahkan pertanyakan hal ini kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Timur. Siapa yang menarik pajak, dan setor kemana,” ungkapnya.(Jex)