Bukan Bintang Tamu, Imigrasi Kotabumi Deportasi Seniman Residensi

Tubaba – Dideportasinya tiga orang Seniman Residensi Internasional yang hadir di kegiatan Tubaba Art Festival (TAF) ke 8 tahun 2024, Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba) Lampung, menurut Kepala Kantor Imigrasi Kelas Dua Lampung Utara akibat tidak mengantongi Visa Kerja.

Dikatakan Tyas Kristianingrum Kepala Kantor Imigrasi Kotabumi Kabupaten Lampung Utara, saat diwawancara media melalui sambungan telepon selulernya Jum’at (9/8/2024), bahwa tiga warga negara asing yang hadir pada event seni dan budaya di Tubaba lantaran kesalahan izin tinggal.

“Mereka salah izin tinggal, seharusnya mereka menggunakan visa kerja jika ingin manggung atau mentas, baik itu seniman artis yang sifatnya berbayar, karena kami lihat di sosmednya Tubaba Art Festival mereka ada manggungnya, dan mereka juga dibayar. Kami anggap mereka artis, Kecuali mereka benar-benar datang sendiri dan beramal, dan tukar budaya silahkan, tapi kami dengar mereka dibayar. Jadi mereka masuk kategori visa kerja.” kata Tyas.

Terkait visa menurut Tyas, turis tersebut menggunakan visa pengunjung atau wisata, dan diakui Kepala Kantor tersebut bahwa sebelum seniman residensi tersebut datang di Tubaba, Panitia sempat berkoordinasi dengan kantor imigrasi.

“Dua minggu sebelum seniman residensi itu datang memang sudah koordinasi dengan anggota kami di kantor, dan kita arahkan untuk menggunakan aplikasi Molina untuk menggunakan visa, terserah visa apa, kalau sosial budaya berarti tidak berbayar, kalau berbayar berarti visa kerja yaitu tiga bulan dengan biaya 7 juta terus panitia itu bilang keberatan segitu, habis itu tidak ada kabar lagi” kata Kepala Kantor Imigrasi tersebut.

Lanjutnya, karena tidak ada info lebih lanjut, diakui Tyas pihaknya pun mencari informasi dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Daerah Tubaba.

“Kami dapat informasi dari Pemerintah Tubaba ada festival dan mengundang artis dari Mancanegara, dari luar negeri, setelah dicek tamu menggunakan visa wisata. Mereka ada pertunjukannya, serta ingin menunjukkan kesenian mereka di depan Pj Gubernur dan tamu yang hadir, mereka tampil seperti ingin memperlihatkan kesenian mereka dan mereka ingin melihat kesenian yang dipertunjukan di sana, seperti bertukar kesenian begitu?. Kami sempat merekam videonya ada pertunjukan warga negara asing dan ingin tampil menunjukkan kebudayaannya, mereka tampil dengan tarinya, (mungkin),” kata Kepala Kantor Imigrasi dengan kata kemungkinan.

Lanjut Tyas, informasi didapatkan dari informasi Forkopimda dan Camat bahwa ada orang asing banyak di Tubaba dan dicurigai menggunakan visa wisata.

Baca Juga  Resmikan Rumah Adat, Musa Ahmad Turut Salurkan BLT DD

“Waktu itu memang informasinya dari Forkopimdanya, memang ada juga Camat yang menyampaikan bahwa mau ada Festival dan banyak orang asing di Tubaba dan dicurigai juga oleh mereka kemungkinan menggunakan visa wisata, kemudian kami telusuri informasinya dari Forkopimda di Tubaba,” tegas Tyas.

Dijelaskan Kepala Kantor Imigrasi tersebut, bahwa seniman di luar negeri juga disebut sebagai artis, sehingga sanksi yang diberikan pihak imigrasi merupakan sanksi ringan berupa deportasi.

“Karena di luar negeri seniman juga disebut artis maka kami berikan sanksi dipulangkan ke negerinya masing-masing” pungkasnya.

Sementara itu, Direktur TAF 8 Semi Ikra Anggara, membantah dan menyayangkan tindak terkait deportasi terhadap tiga orang seniman Internasional yang diundang dan hadir di Festival Tubaba untuk Residensi Seniman Internasional.

“Tiga seniman internasional itu dua dari Negara Cina dan satu dari Jepang. Saya ingin menjelaskan bahwa, seniman itu bukan penjahat, tidak membahayakan kedaulatan negara, mereka tidak menerima bayaran sebagai artis, dan tidak merugikan materiil negara, justru mereka terlibat Residensi Internasional, yaitu sebuah praktik seni kebudayaan, belajar dan berdiskusi dengan warga di Tubaba.” kata Semi

Menurutnya, para seniman tersebut berpartisipasi dalam program residensi internasional, yang merupakan program pertukaran budaya di mana seniman dari berbagai negara datang untuk tinggal dan berkarya di negara yang mengundang mereka.

Dalam hal ini, tiga seniman tersebut yakni, Wendi Wu dan Sirun Chen dari China, dan Kitamari dari Jepang, datang atas undangan panitia dan berkolaborasi dengan masyarakat setempat, terutama dalam bidang seni rupa dan seni tari.

“Saya sudah berkoordinasi dengan pihak Imigrasi Kotabumi sebelum acara dimulai. Salah satu fokus diskusi kami soal durasi visa yang sesuai untuk kegiatan residensi ini,” ungkap Direktur TAF Semi Ikra.

Menurut Semi, permasalahan timbul ketika pihak Imigrasi memeriksa visa para seniman dan menemukan ketidaksesuaian jenis visa yang digunakan. Selanjutnya, Semi menjelaskan bahwa kesalahan administrasi ini seharusnya tidak sepenuhnya dibebankan kepada para seniman.

“Mereka datang ke Indonesia dengan niat baik untuk bertukar pengetahuan dan berkolaborasi dengan komunitas lokal. Paspor mereka diambil dan proses deportasi segera dilakukan tanpa memperhatikan dampak budaya dan kerugian moral yang dialami oleh para seniman dan pihak panitia,” kata Semi.

Baca Juga  Jembatan Way Sabuk di Lampung Utara Nyaris Runtuh

Padahal, lanjut Semi, bicara waktu mereka tidak ada yang melanggar, seperti Wendi Wu itu tanggal 1 Juli tiba di Jakarta, tetapi tanggal 15 atau 17 dia sudah memperpanjang visanya. Karena selain residensi, kegiatan seniman itu ada kunjungan wisata juga di kota Bandung dan Bali untuk jalan – jalan dan menghadiri kegiatan Indonesia Bertutur. Begitu pula Sirun datang pada 4 Juli, dan Kitamari tanggal 10 Juli.

Menurut Semi, mereka Imigrasi menyatakan ada laporan warga bahwa seniman itu akan ikut pentas. Harus dimengerti, seniman dan artis itu asosiasinya berbeda, karena artis itu dalam pengertian mereka tampil dan pentas dibayar secara profesional, kalau seniman ini kan tidak.

“Adapun soal apa yang dikatakan oleh pihak imigrasi terkait honor artis yang sebesar 350 ribu itu juga bukan honor, dan nilai nya juga bukan segitu tetapi sebesar 320 ribu, itupun untuk biaya sehari-hari dengan komponen sarapan, makan siang, makan malam, biaya BBM. Angka ini sudah ada persetujuan dari pihak sponsor yaitu Dana Indonesiana LPDP. Sebuah lembaga funding kebudayaan bentukan kerjasama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi Republik Indonesia dengan Kementerian Keuangan. Angka 320 ribu itu sudah ada pajak nya, jadi kami dari panitia sudah membayar pajak,” jelasnya.

Semi menuturkan, bahwa imigrasi banyak bekerja dengan asumsi. Padahal, mereka seniman residensi datang menggunakan uang pribadi, tiket pesawat bayar sendiri, bayar visa sendiri, dan mereka disini mempunyai kontribusi kebudayaan kepada warga yang kalau dihitung dan dibandingkan tentu tidak sebanding.

“Kami juga merugi secara finansial sekitar 20 juta untuk biaya kepulangan mereka. Belum lagi kerugian moril yang dialami para seniman eesidensi itu,” kata Semi.

Setelah kejadian tersebut, pihaknya juga menyoroti kurangnya koordinasi dan komunikasi antara berbagai lembaga terkait. Semi berharap ke depan, sosialisasi mengenai prosedur dan regulasi imigrasi dapat mencakup pelaku seni budaya, jangan hanya di dinas-dinas saja, sehingga kejadian serupa dapat dihindari.

“Para seniman telah berangkat dari Bandara Radin Intan ke Soekarno Hatta, dan kembali ke negara asal mereka pada Rabu (07/08) kemarin. Panitia berharap kejadian ini dapat menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk lebih memahami dan menghargai peran seni dan budaya dalam membangun hubungan antarbangsa,” pungkasnya.

Pos terkait