Bandarlampung – Sempat merajai polling ‘pilihan politik’ Pemilihan Walikota (Pilwakot) Kota Bandarlampung 2024, Eva Dwiana kini mulai keteter.
Itu terjadi, karena banyak berita miring seputar kinerja Pemda Kota Bandarlampung yang terekspose di media massa. Salah satu isu aktual yang baru-baru ini muncul, adalah seputar rencana Pemkot Bandarlampung ‘menggadai’ asset daerah kepada pihak ketiga.
Konon kabarnya, proses gadai ini akan dilakukan lantaran Pemkot Bandarlampung kesulitan membayar angsuran pinjaman kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) Persero, anak usaha dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI.
Beban utang yang ditanggung APBD Kota Bandarlampung tersebut cukup besar, yakni Rp20 miliar per bulan dari total keseluruhan utang pemkot yang mencapai Rp495 miliar. Jika dikalkulasi, maka pertahun Rp240 miliar yang wajib dibayarkan pemkot.
Beban APBD sebanyak itu, berpotensi mengurangi biaya program kegiatan di sejumlah instansi. Sedangkan penopang utama APBD Bandarlampung, masih berkutat pada Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan asumsi, pada TA 2022 lalu saja, realisasi PAD hanya mencapai 69% dari 75 miliar yang dicanangkan.
Nah, berkenaan dengan rencana gadai asset daerah ini pula sempat terjadi tarik menarik pro-kontra di masyarakat. Banyak pemerhati media sosial beranggapan, gadai asset bukan jalan keluar terbaik yang hasrus ditempuh pemkot.
Sebab, hal itu bisa berakibat merusak lingkungan permukiman jika prosesnya berlangsung hingga belasan tahun lamanya, mengingat mayoritas sewa lahan tidak berorientasi pada kelestarian lingkungan.
Hal itu disampaikan Mirwan Karim, salah seorang Dosen Universitas Lampung (Unila) dalam pernyataannya melalui grup WhatsApps, belum lama ini.
Mirwan berpendapat, masih ada cara lain yang bisa ditempuh Pemkot Bandarlampung jika orientasinya untuk membayar cicilan utang, tanpa harus menggadai lahan. Salah satunya, kata dia, dengan menggenjot sektor pajak dan retribusi.
Hal lain yang menyebabkan elektabilitas Eva Dwiana menurun, menjelang Pilwakot 2024, adalah banyaknya perhatian walikota terhadap pembangunan fisik daerah ketimbang pembangunan non fisik masyarakatnya.
Hal itu terlihat dari keseriusan Pemkot Bandarlampung meningkatkan peran serta UKM/UMKM dalam mengembangkan usaha. Kebanyakan UKM di daerah ini kesulitan memperoleh modal usaha, lantaran keterbatasan akses perbankan.
Di sisi lain, banyaknya keluhan para pemilik toko (diluar sembako) atas terjadinya penurunan daya beli masyarakat pascacovid 19 lalu. “Sampai sekarang pun masih sepi pembeli,” kata salah seorang ibu, pemilik toko sandar dan sepatu di Pasar Bambukuning, Minggu (09/10/2023).
Dia menilai, tak hanya penjualan online yang mempengaruhi daya beli. Tapi, perputaran uang di masyarakat pun ikut mempengaruhi perilaku konsumen. “Banyak faktor penyebabnya, menurut saya,” imbuh wanita itu.
Keluhan para pemilik toko ini sempat viral di media sosial, namun hingga kini belum ada ‘action solutif’ dari Pemkot Bandarlampung, khususnya Institusi Dinas Perdagangan. “Sudah banyak pemilik toko di sini (Bambukuning) yang enggan buka toko,” ungkap pedagang lain.(Tim)