Bandar Lampung— Forum Komunikasi Mahasiswa Bandar Lampung (FKMBDL) mengecam keras adanya penjualan tanah fasilitas umum (fasum) di Perumahan Griya Sukarame oleh lima ketua RT. Dinilai tindakan tersebut bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi sudah masuk kategori tindak pidana karena memperjualbelikan aset publik tanpa dasar hukum yang sah.
Ketua FKMBDL, Ahmad Ilham Bagus Suhada, mengatakan praktik itu mencerminkan lemahnya pengawasan pemerintah dan hilangnya rasa tanggung jawab sosial para pengurus lingkungan.
“Ini bukan sekadar pelanggaran etik warga, tapi sudah mengarah pada kejahatan publik. Tanah fasum itu milik bersama, bukan milik pribadi ketua RT atau kelompok tertentu. Menjualnya tanpa keputusan wali kota sama saja dengan menjual hak publik,” ujar Ilham saat di temui, Senin (27/10/2025).
Ia menjelaskan, dalam aturan hukum, fasum memiliki status hukum yang jelas sebagai aset publik yang harus dilindungi.
“Kalau kita buka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pasal 47 ayat (1) menegaskan bahwa prasarana, sarana, dan utilitas umum wajib diserahkan kepada pemerintah daerah. Belum ada penyerahan bukan berarti boleh dijual. Itu logika hukum yang keliru dan berbahaya,” tegasnya.
Ilham menilai alasan “belum diserahkan ke pemerintah, jadi masih hak warga” yang disampaikan Ketua Tim 15 justru memperlihatkan ketidaktahuan hukum.
“Mereka bilang belum diserahkan, berarti masih bisa dialihfungsikan. Itu alasan yang menyesatkan. Pasal 29 ayat (1) huruf f Permendagri Nomor 9 Tahun 2009 jelas melarang setiap pihak menjual fasum tanpa persetujuan pemerintah daerah. Jadi siapa pun yang melakukan itu, bisa dikenakan sanksi pidana,” katanya.
Ia juga mengencam dugaan pengumpulan tanda tangan warga dengan alasan menjaga fasum, padahal untuk kepentingan jual-beli, merupakan bentuk pembohongan publik.
“Kalau benar ada tanda tangan warga yang dikumpulkan tanpa penjelasan transparan, itu bisa masuk kategori penipuan dan penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Karena yang dijual bukan tanah pribadi, tapi tanah yang dibiayai dan digunakan untuk kepentingan masyarakat,” jelasnya.
Ilham juga mengkritik keras keterlibatan notaris dalam pengesahan transaksi tersebut tanpa dasar keputusan warga yang sah.
“Notaris seharusnya menolak kalau dasar hukumnya tidak kuat. Kalau sampai membuat akta jual-beli atas tanah yang statusnya fasum, itu bisa dianggap turut serta dalam perbuatan melawan hukum. Kami akan menelusuri nama notaris yang disebut-sebut ikut mengesahkan transaksi ini,” ungkapnya.
Ilham menegaskan, FKMBDL akan segera melayangkan laporan resmi ke Kejaksaan Negeri Bandarlampung, Polresta Bandarlampung, Walikota Bandarlampung, DPRD Bandarlampung komisi III serta Inspektorat Kota, agar ada penyelidikan serius khususnya terhadap aliran dana hasil penjualan yang disebut mencapai lebih dari Rp1,4 miliar.
“Kami mencium aroma penyimpangan yang serius. Kalau benar uang hasil jual fasum digunakan untuk membeli tanah makam di luar wilayah, itu makin janggal. Pemerintah harus berani bongkar siapa yang diuntungkan dari proyek ilegal ini,” katanya dengan nada tegas.
Menurutnya , lurah dan camat setempat juga tidak bisa lepas tangan dari tanggung jawab pengawasan.
“Lurah sudah tahu, bahkan mengaku pernah ikut rapat DPRD soal ini. Tapi kenapa tidak ada tindakan nyata? Kalau aparat kelurahan diam, berarti ada pembiaran. Pembiaran terhadap pelanggaran hukum adalah bentuk kolusi struktural yang harus dipertanggungjawabkan,” ujar ilham.
Dalam penutupnya, Ilham menegaskan FKMBDL tidak akan diam menghadapi praktik penjualan aset publik yang mengorbankan warga.
“Kalau ini dibiarkan, ke depan setiap RT bisa seenaknya menjual taman, lapangan, atau jalan umum dengan alasan ‘masih hak warga’. Ini ancaman serius bagi tata kelola perkotaan dan hak publik di Bandarlampung,” tegasnya.





