KAWASAN hutan register di Lampung kian terancam. Para perambah dari luar kawasan menyerobot lahan secara tidak sah, dan berkonflik dengan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) yakni kelompok yang ‘dimuliakan’ karena menjadi ‘penyetor’ terbesar. Belakangan, dugaan praktik penyewaan lahan oleh pemegang HGU terjadi di mana-mana. Dinas Kehutan Lampung tutup mata!
Laporan potret satelit menyebutkan bahwa warna tutupan hutan di Lampung kian mencoklat yang dipantulkan oleh petakan besar hutan yang gundul. Gundulan itu, bahkan telah membentuk perkampungan atau desa definitif, dipenuhi rumah penduduk dan kantor desa, lahan pertanian, bahkan gerai ritel besar.
Instalasi jaringan listrik PLN pun mudah disambungkan, meski sesungguhnya hal itu sangat dilarang.
Itulah bukti ketidakberdayaan Dinas Kehutanan. Meski punya polisi kehutanan dan pegawai khusus di KPH serta dibekali UU dan Peraturan macam-macam, Dishut beserta segenap jajarannya tidak mampu menjaga hutan dari intervensi pemodal atau investor dan masyarakat sendiri.
Ketidakberdayaan dishut tersebut dipicu oleh tidak sinkronnya kebijakan antara tugas dan wewenang kehutanan pusat dan daerah. Diperburuk pula oleh ‘kurang ajarnya’ kementerian/BUMN yang cenderung ego sektoral, bahkan melawan hukum.
Ada kesan kuat, untuk urusan hutan, sinergitas tidaklah penting. Para pihak cenderung berkegiatan sendiri-sendiri tanpa “rasan-rasan” dengan Kementerian/Dinas Kehutanan. Bahkan, regulator kehutanan di tingkat pusat dan daerah kerap tak sejalan. Perizinan nyaris sepenuhnya dikuasai oleh pemerintah pusat. Sialnya, bila terjadi konflik, daerah yang kena getahnya.
Dalam hal ini Ketua LSM Rubik, Feri Yunizar, angkat bicara. Ia membenarkan bahwa luasan hutan di Lampung dipastikan akan cepat berkurang.
“Terlalu banyak yang bermain. Mulai dari orang dalam, pihak luar termasuk masyarakat dan pengusaha/BUMN,” katanya kepada haluan Lampung, Jumat 23 Juni 2023.
Feri menyodorkan sejumlah data yang ia miliki kepada Haluan Lampung. Data itu terkait kondisi hutan di Lampung dari tahun ke tahun beserta konflik yang tak kunjung teratasi.
“Lahan HGU banyak yang disewakan menjadi lahan singkong, tebu. jagung dan kelapa sawit. Penyewaan itu ada di mana-mana, ada di depan mata pegawai KPH (Dishut) Lampung,” katanya.
“Hutan kita dikuasai cukong. Dishut tidak akan mampu mengatasinya. Mereka tahu dan kenal baik dengan para cukong itu. Pahamkan maksudnya,” lanjut dia sambil mengedipkan mata.
Terkait hal ini Gubernur Lampung Arinal Djunaidi telah meminta semua pihak mengembalikan fungsi ekologi dan ekonomi hutan di Provinsi Lampung yang mengalami kerusakan 37,42% dari lahan seluas 1.004.735 hektare.
Hal itu diungkapkan Gubernur Arinal dalam Diskusi Publik di Auditorium Pascasarjana Universitas Bandar Lampung (UBL), Rabu (22/1/2020).
Gubenur menjelaskan, Lampung memiliki hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Namun faktanya kondisi hutan itu saat ini baik kuantitas maupun kualitasnya telah mengalami penurunan.
Tingkat kerusakan hutan di Provinsi Lampung saat ini sebesar 37,42 % dari total luas kawasan hutan di Provinsi Lampung 1.004.735 hektare.
Oleh sebab itu, Gubernur menilai perlu upaya yang lebih serius dan terintegrasi dari berbagai pihak untuk mempertahankan dan melestarikan keberadaan, mempertahankan dan memulihkan fungsi hutan dan lingkungan agar tetap memiliki daya dukung yang baik terhadap meningkatnya kesejahteraan rakyat.
“Perlunya komitmen bersama dalam mempertahankan keberadaan dan memulihkan fungsi hutan mengingat pentingnya keberadaan hutan dan lingkungan untuk mendukung fungsi ekonomi, sosial, dan ekologi,” kata Gubernur Arinal.
(iwa)