Kalianda – Jagad tiktok sempat dibuat heboh dengan maraknya aksi penipuan janda-janda ‘genit’ yang ingin mendapat calon suami dari media maya. Polisi sudah mengetahui tentang hal ini.
Dari hasil investigasi aparat, diketahui laki-laki penipu para janda bertampang ganteng tersebut, kebanyakan adalah warga binaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Mereka memanfaatkan foto profil pria tampan untuk mengelabuhi mangsanya. Polisi menyebut mereka dengan istilah ‘codot’. Belakangan diketahui, sudah banyak korban berjatuhan. Uang para korbannya dikuras, hingga ratusan juta rupiah.
Nah, permasalahan handphone atau telepon seluler atau ponsel ini, ternyata ada oknum pegawai (tamping) yang menyewakannya kepada para penghuni lapas. Hal ini terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan.
Untuk satu handphone, disewakan kepada para warga binaan Rp500.000 hingga Rp1,5 juta per bulan, tergantung tingkat kecanggighan ponsel. Mendapat kabar ini, Kepala Lapas Kalianda, Chandran Lestyono mengaku kaget.
“Kami sudah berkali kali melarang keras penggunaan maupun peredaran ponsel di dalam lapas,” kata Chandran Lestyono, sebagaimana dirilis dari laman Ant, Rabu (20/3/2024).
Permasalahan sewa ponsel ini diketahui wartawan, mendasari adanya pengaduan masyarakat. Alat komunikasi tersebut, kata warga, adalah milik para pegawai Lapas.
“Untuk masalah komunikasi dengan keluarga, kami selalu memberikan solusi terbaik untuk para warga binaan. Yakni, Wartelsus yang ada di lapas. Sudah kami sediakan,” kata Kalapas.
Dalam kaitan ini, Chandran Lestyono menyatakan, bahwa pihaknya tidak melarang warga binaan untuk berkomunikasi. “Kami memang melarang penggunaan ponsel. Kan ada Wartelsus. Silahkan dipergunakan,” kata dia.
Kalapas mengakui, peredaran ponsel di lingkungan dalam lapas tersebut berawal dari adanya kesepakatan antara warga binaan bersama petugas setempat.
“Untuk sewa menyewa ponsel, dimungkinkan saat itu warga binaan memancing melalui petugas atau oknum, untuk cari celah agar dapat memegang ponsel melalui cara sewa,” ungkapnya.
Jika tidak ada yang membutuhkan, seperti warga binaan yang memancing-mancing, oknum petugas lapas tersebut tidak mungkin menyediakan ponsel yang dapat disewakan oleh para warga binaan.
“Tapi, karena ada yang memancing dan pegawai terpancing, sehingga terjadi komitmen itu. Ketika sudah berjalan, namun komitmen melanggar kesepakatan, maka akhirnya muncul lah masalah seperti ini. Akhirnya terjadi pungli, padahal jika tidak ada kesepakatan, hal ini tidak akan terjadi pungli,” imbuhnya.
Chandran Lestyono menekankan, sudah dari jauh-jauh hari sejak ia memimpin Lapas Kalianda, sudah wanti-wanti jajarannya.
“Ketika mendapatkan ponsel, maka langsung dihancurkan. Baik pegawai, maupun warga binaan, tidak dikasih ampun. Jika tidak bisa dibina, maka saya binasakan,” tandasnya pula.(*)