BANDAR LAMPUNG – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menindaklanjuti kasus pelanggaran HAM berat termasuk tragedi Talangsari ke meja hijau. Pasalnya tidak cukup hanya pengakuan Jokowi saja.
Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jarwadi menilai Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tidak maksimal dalam proses penyelesaian pelanggaran HAM berat.
Bahkan sudah 38 orang dibebaskan dengan alasan bukti-buktinya tidak cukup untuk dikatakan sebagai pelanggaran HAM masa lalu.
“Dengan proses penyelesaian melalui Tim PPHAM, kita melihat ada proses impunitas yang dilakukan oleh negara. Seharusnya negara menghadirkan pelaku pelanggar HAM berat di pengadilan, Komnas HAM sebagai penyelidikan, dan jaksa agung sebagai penyidik,” kata Sumaindra, Kamis (12/1/2023).
Menurutnya, Keppres nomor 17 tahun 2022 tersebut hanya lebih ke merekomendasikan pemulihan bagi korban dan keluarganya. Serta merekomendasikan langkah untuk mencegah pelanggaran HAM berat tidak terulang lagi di masa yang akan datang.
“Pemulihan bagi korban dan pemenuhan hak merupakan bagian dari tanggungjawan negara yang harus dipenuhi. Itu sebenarnya hak mereka yang terdiskriminasi,” ujarnya.
Seharusnya, kata Sumaindra, DPR bisa menyampaikan kepada Jokowi untuk membantuk Pengadilan HAM Ad Hoc dan menunjuka penyidik ad hoc untuk memproses pengungkapan pelanggaran HAM berat. Namun itu tidak dilakukan oleh DPR.
“Harapan kita yang kemarin sudah bersama korban Talangsari tetap menuntut kepada negara agar dapat menyelesaikan pelanggaran HAM berat untuk masuk ke ranah yudisial atau ranah pengungkapan di pengadilan,” jelasnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengakui adanya 12 peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang terjadi di masa lalu. Hal itu disampaikannya setelah menerima laporan dari Tim PPHAM di Istana Negara pada Rabu (11/1/2023).
12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang diakui Kepala Negara yakni peristiwa 1965-1966, peristiwa penembakan misterius 1982-1985. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, peristiwa kerusuhan Mei 1998.
Kemudian peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-199, peristiwa simpang KKA, Aceh 1999, peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, dan peristiwa Wamena, Papua 2003 serta peristiwa jambo keupok, Aceh 2003.(*)