LBH Tolak Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Talangsari Lewat Jalur Non Yudisial

LBH Bandar Lampung dan Komite Semalam Paguyuban Korban Talangsari Lampung tolak penyelesaian kasus pelanggaran HAM Talangsari, Lampung, melalui jalur non yudisial yang dilakukan oleh Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM/Istimewa

BANDAR LAMPUNG – LBH Bandar Lampung bersama dengan Komite Semalam Paguyuban Korban Talangsari Lampung (PK2TL) menyampaikan penolakan proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM Talangsari, Lampung, melalui jalur non yudisial yang dilakukan oleh Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM (TPPHAM).

TPPHAM sendiri dibentuk oleh Presiden Jokowi melalui Keppres Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Non Yudisial.

Bacaan Lainnya

Alih-alih mendorong adanya peradilan HAM, melalui Keppres ini secara gamblang menunjukkan upaya yang tengah dilakukan Negara untuk memisahkan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu berbasis metode yudisial dan non-yudisial.

Penolakan tersebut disampaikan oleh Cik Ali, Wakil Direktur LBH Bandar Lampung dan Fikri Yasin dari Komite Semalam dalam FGD yang diselenggarakan oleh TPPHAM di Bandar Lampung, pada Selasa (15/11/2022).

Dalam forum tersebut tegas disampaikan bahwa pembentukan TPPHAM adalah bentuk cuci tangan negara terhadap tanggung jawab kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

FGD yang dihadiri langsung oleh ketua TPPHAM Makarim Wibisono dan Zainal Arifin Mochtar selaku anggota tersebut merupakan salah satu proses yang dilakukan oleh TPPHAM untuk menggali data dan kebutuhan dari korban pelanggaran HAM berat Talangsari Lampung yang terjadi pada tahun 1989.

Baca Juga  Remaja 17 Tahun di Lamtim Setubuhi Pacarnya Demi Status

Bahwa berdasarkan Keppres tersebut, dengan kewenangan yang sempit dan masa kerja yang cenderung terbatas LBH Bandar Lampung tidak memiliki keyakinan terhadap proses yang akan dilakukan TPPHAM.

“Mengingat masa kerja yang dilakukan dengan waktu tiga bulan tersebut tidak lebih hanya berbentuk rekomendasi bagi Presiden. Bahwa alasan dibentuknya TPPHAM untuk melakukan rehabilitasi dan pemulihan hak korban dan mencegah agar korban tidak jatuh dan menderita berulang kali hanyalah lips service belaka,” ujar Cik Ali.

Selain itu, sambung dia, proses penyelesaian secara non yudisial sama sekali tidak menyelesaikan persoalan yang paling mendasar dan malah berpotensi menjadi persoalan baru seperti terpecahnya korban menjadi pihak yang mendukung dan menolak penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui jalur non yudisial.

“Proses tersebut justru mengaburkan upaya yang selama ini didorong oleh korban, yakni penegakkan hukum melalui peradilan HAM. Padahal sejauh ini Komnas HAM telah menyatakan bahwa peristiwa Talangsari adalah pelanggaran HAM berat,” tegas dia.

Hal itu, sebagaimana tertuang dalam rekomendasinya, bahwa pemerintah melalui Jaksa Agung untuk dapat melakukan penyidikan serta pemerintah dan DPR untuk dapat membentuk peradilan HAM yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Baca Juga  Polri Periksa 29 Orang dan 6 CCTV Terkait Tragedi Kanjuruhan

“Maka dengan adanya TPPHAM yang dibentuk berdasarkan Keppres tersebut justru malah bertentangan dengan Undang-Undang HAM dan Pengadilan HAM, bahwa langkah penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM dilakukan untuk kebutuhan pro justicia yang secara langsung beririsan dengan kepentingan pemenuhan hak korban,” papar dia.

Cik Ali menyebut, penegakkan hukum melalui peradilan HAM menjadi penting karena hal tersebut menjadi wujud seriusnya pemerintah terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat Talangsari Lampung.

Karena, kata dia, proses peradilan dapat menjawab pemenuhan hak korban terhadap pengungkapan kebenaran dan menjadi legitimasi bagi lahirnya pengakuan dan permintaan maaf dari negara terhadap korban. Hal demikian dapat menjadi jaminan akan ketidak berulangan peristiwa tersebut dikemudian hari.

“Mengingat masa kerja Presiden Jokowi yang menyisakan dua tahun lagi dan situasi hari ini yang sebentar lagi menghadapi tahun politik, jangan sampai dibentuknya TPPHAM dijadikan alat untuk menggiring korban pelanggaran HAM berat masa lalu sebagai objek politik dan dagangan politik belaka seperti yang terjadi pada beberapa momentum politik belakangan ini,” ujar dia.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan