Bandarlampung – Puncak hari jadi Provinsi Lampung ke-60, yang dirayakan dalam rapat paripurna bersama dengan DPRD Provinsi Lampung, Gubernur Arinal Djunaidi mengklaim keberhasilan selama 4 tahun terakhir.
Sementara itu dua hari sebelumnya, tepat pada 16 Maret 2024 lalu ditengah ketenangan menjalankan ibadah puasa Ramadan, sejumlah lahan garapan petani diporak-porandakan oleh Pemprov Lampung melalui Badan Pengelolaan Keuasangan dan Aset Daerah (BPKAD) yang menggusur tanaman petani penggarap lahan Kota Baru Lampung Selatan.
Lahan yang baru saja ditanami singkong oleh petani digusur dengan menggunakan 3 traktor bajak yang dikawal oleh puluhan preman.
Adapun dalih Pemprov melakukan hal tersebut adalah dalam rangka penertiban aset dimana mereka dengan sengaja menggusur tanaman petani yang menolak untuk melakukan sewa diatas tanah Pemprov yang sebelumnya akan direncakan akan dibangun Ibu Kota Baru Provinsi Lampung.
Direktur LBH Bandarlampung Sumaindra Jarwadi, mengatakan, bahwa petani penggarap Kota Baru tidak semerta-merta menggarap dilahan tersebut.
“Mereka bukanlah penggarap yang baru. Penggarap yang mayoritas berasal dari 3 desa sekitar Kota Baru sudah melakukan penggarapan sejak tanah tersebut masih berstatus kawasan hutan,” tegasnya, Selasa (19/3/2024).
Bahkan sejak 1950-an lahan digarap secara turun temurun dari orang tuanya hingga hari ini. Sebagian besar masyarakat petani penggarap merupakan generasi kedua dari orang tuanya yang dahulu adalah Transmigran Swakarsa di tahun 1940-an dari daerah Jawa dan membuka lahan di kawasan hutan untuk digunakan bercocok tanam dan pemukiman.
“Dahulu lahan masih berstatus Kawasan Hutan Produksi Register 40 Gedong Wani yang ditetapkan sebagai kawasan hutan sejak zaman kolonial Belanda lewat Besluit Resident Lampung District No. 372 tanggal 12 Juni 1937,” papar dia.
Sumaindra menjelaskan, penggarapan terus dilakukan oleh masyarakat sejak tahun 1998 sampai dengan pada tahun 2011 Pemerintah Provinsi Lampung menetapkan kebijakan pembangunan kota baru untuk pusat pemerintahan Provinsi Lampung di wilayah tersebut dengan rencana penggunaan lahan seluas 1300 Ha melalui Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 2009.
Hal itu tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Lampung Tahun 2009 Sampai Dengan 2029.
“Namun pada faktanya hingga hari ini pembangunan Kota Baru justru mangkrak dan meninggalkan bangunan kosong,” kata dia.
Terbitnya Keputusan Gubernur Nomor G/293/VI.02/HK/2022 tentang Penetapan Sewa Tanah Kotabaru Yang Belum Dipergunakan Untuk kepentingan Pembangunan Provinsi Lampung melahirkan reaksi penolakan dari masyarakat.
Bahwa terhadap kebijakan tersebut dinilai cenderung memberatkan. Terlebih dengan nominal harga sewa yang telah ditetapkan melalui keputusan tersebut, yakni Rp300,- (tiga ratus rupiah) per meter per tahun atau Rp3.000.000,- per hektare per tahun yang dianggap terlalu tinggi.
Bahwa harga sewa tersebut semakin menjauhkan masyarakat petani penggarap dari kesejahteraan, karena petani penggarap yang notabenenya petani singkong, jagung dan padi tersebut harus mengeluarkan biaya produksi kurang lebih Rp5.000.000 sampai dengan Rp.10.000.000 per hektare sekali musim dari tanam hingga panen.
“Sementara itu harga beras yang meroket, pajak yang naik namun tidak diimbangi dengan kestabilan harga hasil pertanian. Harga singkong dan jagung yang bersifat fluktuatif ditambah dengan kondisi perekonomian yang tidak menentu dan menguntungkan bagi petani,” paparnya.
Masyarakat yang telah lama melakukan aktifitas penggarapan dan bergantung pada lahan tersebut merasa terancam kehilangan ruang penghidupan dengan adanya keputusan Gubernur tersebut.
Seolah menutup mata dan telinga, kebijakan sewa lahan Kota Baru pada faktanya meniadakan masyarakat yang hari ini melakukan penggarapan disana sejak tahun 1940-an dengan sama sekali tidak dilibatkan dalam hal perumusan kebijakan.(*)