BANDAR LAMPUNG – Filsuf terkenal asal Indonesia, Rocky Gerung tidak meyakini generasi Indonesia akan mengalami resesi seks dimasa depan.
Ia berpendapat istilah resesi seks tidak tepat, yang tepat adalah resesi reproduksi yang disebabkan oleh faktor ekonomi yang berpotensi menggagalkan bonus demografi.
“Coba kita periksa dulu ya, kalau disebut resesi seks artinya gairah seks mengalami defisit. Itu saya kurang yakin, tapi kalau resesi dalam soal keinginan punya anak itu mungkin ada,” katanya saat berbincang dengan Hersubeno Arief di akun Youtube Rocky Gerung Official.
Menurut dia, orang bisa fokus pada profesi dan memilih hidup individual seperti di Jepang, Korea Selatan dan Singapura. Akan tetapi seks adalah drive manusia yang paling dasar yang tak mungkin dielakkan.
“Itu saya nggak pernah percaya, karena bahkan orang yang mengalami resesi seksual dia akan cari kimia untuk meningkatkan libidonya tuh,” urainya.
Ia menjelaskan resesi reproduksi (bukan resesi seks) yang mempengaruhi demografi akan terjadi bila kualitas kehangatan di ranjang dan keluarga merosot tajam akibat ekonomi keluarga yang tidak menunjang.
“Dalam kondisi itu pasti reproduksinya berkurang, tapi pada dasarnya seksnya tinggi, lalu karena kemiskinan berupaya untuk melakukan depopulasi, membatasi jumlah anak bahkan memilih tidak punya anak sama sekali,” katanya.
Bagi Indonesia, tambah dia, resesi reproduksi tersebut bisa berlanjut menjadi resesi populasi yang membatalkan bonus demokrasi.
Bonus demografi itu dalam terminologi teknis, jelas Rocky, adalah kemampuan dari sebuah generasi untuk bersaing dengan generasi di luar negeri. Itu artinya generasi sekarang harus ada dividennya, terdidik
“Hal ini memang bisa menimbulkan interpretasi bahwa masyarakat Indonesia sudah masuk pada keinginan untuk lebih individual. Tapi mesti diperiksa dulu apakah keinginan menjadi individual itu nggak mau terganggu dengan anak keluarga itu disebabkan oleh mindset yang berubah atau karena tekanan ekonomi yang memburuk. Dan saya kira ini soal serius karena Indonesia masih menghadapi ancaman ekonomi yang ditandai maraknya PHK,” katanya.
Menurutnya persoalan serius seperti kalah bersaing dengan anak-anak yang ada di Thailand atau di Vietnam seharusnya menjadi koreksi bahwa ternyata sistem kesehatan kita tidak menjamin akses pada nutrisi.
“Ada yang menyebutkan separuh lebih dari masyarakat kita tidak mampu membeli makanan bergizi. Itu problem serius, kalau nutrisi menurun itu artinya produksi hormon-hormon reproduksi juga menurun. Kualitas anak pasti ikut turun. Itu real, sebab gizi pasti mempengaruhi daya seksual dan otak generasi yang dilahirkan,” ujarnya.(IWA)