SUKADANA – Memanfaatkan lahan tidur untuk meningkatkan pertanian melalui program cetak sawah bisa dilakukan. Namun, perlu adanya kegiatan survei, investigasi hingga desain (SID) yang terencana dengan baik.
Namun, alih-alih menambah luas baku lahan sawah yang ada di Kecamatan Pasir Sakti, Kabupaten Lampung Timur, yang terjadi justru ada penambangan pasir yang tak jelas.
BUMD PT Wahana Raharja pun yang selama delapan tahun 2013-2021, bahkan disebut tak menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di penambangan pasir di Pasir Sakti.
Bila ditarik kebelakang, eksistensi atau asal muasal penambangan pasir di Pasir Sakti erat berkait dengan surat keputusan Gubernur Lampung tertanggal 19/7/2017 dengan nomor surat Nomor: G/363/B.04/GK/2017 Tentang penunjukan PT Wahana Raharja sebagai pengelola Kawasan Minapolitan Pasir Sakti di Kecamatan Pasir Sakti Kabupaten Lampung Timur.
Pada praktiknya, surat keputusan gubernur itu berkembang menjadi semacam konsesi pengelolaan penambangan pasir yang terus berkelanjutan, sampai sekarang, meski tak PAD yang disetorkan dari bisnis penambangan tersebut.
Ketua DPC AWPI Lampung Timur Herizal, menyebut, keberadaan tambang galian C (pasir) biasanya hanya meninggalkan ruang-ruang dalam pasca selesainya penambangan, tanpa pernah ada keinginan untuk memperbaiki lahan tambang tersebut hingga berdampak negatif bagi para pemilik tambang baik perorangan maupun perseroan.
“Terbengkalai akibat pembiaran itulah yang biasanya terjadi dan terlihat pada eks tambang pasir galian C, yang nampak hanyalah genangan air yang cukup luas hingga berbentuk seperti waduk tak berpenghuni,” ujar dia, Minggu (30/10/2022).
Reklamasi Tambang Pasir Menjadi Sawah
Fatahroni, pelaksana lapangan reklamasi tambang pasir menjadi sawah mengungkapkan, pemanfaatan lahan mati menuju lahan produktif diperlukan data-data yang baik dan benar.
Kata dia, luas keseluruhan yang akan dijadikan area pertanian (sawah) terdiri dari kelompok satu PT Wahana Raharja seluas 106 hektar dan kelompok dua milik masyarakat seluas 124 hektar.
“Sementara ini yang sudah jadi area pertanian seluas 15 hektar dan sisanya akan terus berproses. Dalam proses pengerjaan kami perhatikan jalur irigasinya dengan tujuan pembagian air bagi petani kedepannya lebih mudah dan terkontrol. Bahkan kami pun akan membangun badan jalan untuk desa,” kata dia, Jumat (28/10/2022).
Menanggapi hal itu, Herizal menyampaikan bahwa kegiatan tersebut telah melibatkan banyak pihak dan salah satu BUMD Pemerintah Provinsi Lampung yang ternama dan akan menyumbangkan PAD terhadap Provinsi Lampung.
Selain itu AWPI yakin bahwa mereka tidak berniat untuk merampas, merampok atau menguasai secara sepihak sumber daya alam (SDA) yang di miliki masyarakat Lampung Timur, karena tujuan pemerintah mengelola bertujuan untuk mensejahterakan rakyat dengan memperhatikan semua dampak, dan kebijakan-kebijakan serta unsur yang terlibat.
“Jangan sampai salah satu pihak merasa dirugikan, dikarenakan kebijakan, kecurangan atau karena kurang memahami proses, prosedur dan regulasinya,” ungkap Herizal.
Menurut dia, kendala terbesar ada di SID (Survei, Investigasi dan Desain) yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah sebelum meminta dilakukannya cetak sawah oleh pemerintah atau masyarakat.
Diakui oleh Herizal, banyak faktor penyebab SID yang kurang sempurna, mulai dari terbatasnya ahli desain perluasan lahan hingga terbatasnya petugas yang mengerti desain perluasan sawah.
“Padahal, SID ini menjadi penting karena akan dijadikan pedoman konstruksi dari proses cetak sawah baru. tapi bukan urusan penambangan pasir di kawasan pasir sakti sebab pedoman teknis, regulasi, dan kebijakan sudah berbeda, ini satu kegiatan tapi beda regulasi dan pedoman teknis nya untuk penerapan kebijakan, apalagi melibatkan BUMD,” kata dia.
Selain itu, Herizal juga menyampaikan bahwa alangkah baiknya jika Kabupaten bisa meneruskan dengan Perda LP2B yang diharapkan lebih detail lagi aturannya, mengenai peta, sebaran luas yang jelas, dan intensif dari pemerintah yang lebih mengena kepada petani itu sendiri.
“Komitmen pemerintah daerah sangat diperlukan terkait luas cetak sawah dengan memasukkan LP2B ke dalam Perda RT/RW ketika pembahasan revisi agar cetak sawah yang ada bisa terlindungi,” jelasnya.
Untuk itu, ia berharap, sebelum Perda menjadi final dan supaya tidak tergerus alih fungsi lahan sawah termasuk cetak sawah baru, lebih baik ditetapkan melalui Perbub dengan dilampirkan peta sebaran LP2B.
“Cara ini apakah sudah dilakukan di Provinsi Lampung dengan menerbitkan Perbub tersebut khususnya di Lampung Timur,” ungkapnya.(TIM)