Bandarlampung – Pemerintah Indonesia tengah mempertimbangkan memberikan akses kepada anggota TNI-Polri untuk menduduki jabatan sipil.
Langkah ini menuai perdebatan tajam terutama terkait dengan semangat reformasi dan prinsip demokrasi yang telah ditanamkan sejak tahun 1998.
Menurut Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Polri, anggota Polri diperbolehkan untuk menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Sementara dalam UU TNI Nomor 34 Tahun 2004, hanya 10 jabatan kantor yang bisa diduduki oleh prajurit aktif.
Ketua Umum Persatuan Mahasiswa Lampung Jakarta (Permala Jakarta), Ahmad Sopian, menilai bahwa kebijakan ini adalah langkah mundur dari semangat reformasi.
Menurutnya, reformasi telah mengamanatkan penghapusan dwifungsi ABRI, di mana militer dan polisi tidak lagi mendominasi birokrasi sipil demi mendukung rezim otoritarian.
“Dalam konteks ini, rencana kebijakan tersebut jelas mengembalikan dwifungsi kembali dan melanggar prinsip dasar demokrasi,” ujar Ahmad Sopian, Kamis (2/5/2024).
Ia menambahkan bahwa penghapusan dwifungsi ABRI adalah bagian dari agenda reformasi tahun 1998 yang bertujuan untuk mengoreksi peran dan fungsi ABRI serta mendorong profesionalisme personel militer.
Ahmad Sopian juga mengingatkan perlunya evaluasi besar-besaran terhadap Mendagri agar tidak terjadi langkah yang merusak demokrasi.
Ia menekankan bahwa undang-undang tidak boleh menjadi alat kepuasan kelompok tertentu dan mendesak pemerintah untuk tetap menjaga semangat reformasi, bukan kembali kepada era otoritarianisme orde baru.
“Tentu saja, kebijakan ini akan membuka kotak Pandora kembalinya dominasi militer dan polisi dalam kehidupan politik, dan bisa menjadi alat politik bagi rezim politik baru,” tambahnya.
Ahmad Sopian menegaskan bahwa fungsi utama TNI adalah sebagai alat negara di bidang pertahanan, sementara Polri bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Kontroversi terkait kebijakan ini masih terus berkembang dan menjadi perhatian publik. Masyarakat dan pemangku kepentingan diharapkan dapat terlibat dalam diskusi yang konstruktif untuk mencari solusi yang terbaik bagi negara dan demokrasi.(*)