BANDAR LAMPUNG – China, Korea Selatan dan Singapura kini tengah menghadapi fenomena resesi seks yang ditandai kemalasan masyarakat melakukan hubungan seks meski sudah menikah.
Kemalasan itu telah berdampak turunnya angka kelahiran dan bergesernya komposisi usia yang kian didominasi oleh kelompok usia tua.
Sebuah laporan menyebutkan angka kesuburan di Korea Selatan pada Agustus 2022 mencapai persentase yang cukup rendah. Angka kesuburan di negara itu ada di angka 0,81 persen per 2021.
Seperti virus, resesi seks diprediksi akan menjangkiti negara manapun, termasuk Indonesia. Apalagi fenomena itu dipicu oleh prilaku umum terjadi di dunia, seperti gaya hidup hingga situasi ekonomi yang terus menekan, berkelanjutan dan serba tidak pasti.
Bagaimana dengan Indonesia?
“Resesi seks bisa saja terjadi di Indonesia. Namun, prosesnya masih panjang dan tak akan terjadi dalam waktu dekat,” kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr Hasto Wardoyo, SpOG dalam sebuah kegiatan di Hotel Shangri La, Jakarta, Selasa (6/12/2022).
Ia menjelaskan, masyarakat Indonesia masih ‘doyan’ menikah dan berhasrat memiliki anak.
Meski demikian Hasto tidak menampik sudah terjadi pergeseran usia pernikahan di atas usia ideal dengan alasan menempuh studi, karier dan sebagainya.
Hasto juga mengakui kini orang Indonesia yang memilih menunda memiliki anak dan membuat pembatasan jumlah anak yang cendrung terjadi di kota-kota besar.
Kini, jelasnya, wanita lebih mementingkan kesejahteraan dan kualitas hidup bersama pasangannya. Sementara pria memilih untuk tidak memiliki anak, namun tetap mementingkan kebutuhan menyalurkan gairah seksual dalam hubungan pernikahan.
Fenomena itu telah menimbulkan terjadi minus growth atau zero growth di beberapa daerah, seperti beberapa kabupaten di Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Meskipun resesi seks belum sepenuhnya menghantui Tanah Air, namun hal tersebut perlu dikhawatirkan karena menyangkut demografi suatu negara.
Dikutip dari The Atlantic, ada 5 pemicu ‘resesi seks’.
Pertama, generasi muda menemukan kesenangan dengan cara lain, bahkan tanpa melibatkan pasangan.
Sebuah laporan mencatat, pada 1992 hingga 1994 fenomena masturbasi di Amerika Serikat (AS) berkembang pesat. Persentase pria yang melakukan masturbasi pada minggu-minggu tertentu juga meningkat dua kali lipat hingga 54 persen.
Sementara itu, persentase wanita yang melakukan masturbasi juga naik hingga lebih dari tiga kali lipat sebanyak 26 persen.
Di Jepang, sejumlah penduduknya memandang seks dengan pasangan sebagai mendokusai atau ‘membosankan’.
Dilaporkan The Economist, Alih-alih berhubungan seks bersama pasangan, sejumlah pria memilih untuk mengunjungi toko onakura. Di sana, mereka membayar untuk onani di depan karyawan wanita toko tersebut.
Dengan berkembangnya zaman, orang-orang bisa mengakses konten pornografi di mana saja dan kapan saja. Maka dari itu, mereka merasa ‘puas’ dengan menonton konten pornografi.
Kedua, generasi muda tidak bisa berkomitmen dalam hubungan jangka panjang. Dibandingkan memikirkan pernikahan yang bersifat jangka panjang, kaum muda di AS memilih untuk fokus pada dirinya sendiri. Mereka cenderung meluangkan waktunya untuk kegiatan akademik dan karir alih-alih menikah.
Ketiga, masalah finansial menjadi salah satu faktor adanya ‘resesi seks’. Pria yang berpenghasilan rendah atau tidak bekerja cenderung tidak melakukan aktivitas seksual.
Selain itu, mempunyai anak juga disebut menantang karena ada biaya masa depan yang tidak murah.
Ke-empat, ada anggapan ‘seks itu menyakitkan’. Menurut studi yang ditulis ilmuwan seks University of Indiana Debby Herbenick pada 2012, 30 persen wanita mengalami rasa sakit saat melakukan hubungan seks vaginal (intercourse) dan 72 persen mengalami sakit saat berhubungan seks anal.
Meskipun data historisnya langka, pakar seks percaya bahwa seks yang menyakitkan sedang meningkat dan juga dipengaruhi oleh pornografi.
Kelima, tingginya tuntutan pekerjaan. Faktor resesi seks lainnya adalah tingginya tuntutan pekerjaan. Di Cina, pegawai dituntut bekerja 9-9-6. Artinya, pegawai harus bekerja dari pukul 9 pagi hingga 9 malam dengan 6 hari kerja.
Waktu libur yang hanya sehari membuat mereka merasa lelah dan kehilangan gairah seksual. Maka dari itu, mereka memilih untuk beristirahat dibandingkan melakukan aktivitas seksual.(DBS/IWA)