Bandar Lampung — Kasus produk pangan bermasalah mencuat di jaringan ritel Alfamart, Seorang konsumen bernama Ichwan mengaku mengalami gangguan kesehatan setelah mengonsumsi susu UHT yang dibelinya di Gerai Alfamart Jalan Endro Suratmin 2, Kecamatan Sukarame, Kota Bandar Lampung.
Produk susu tersebut diketahui masih belum masuk dalam masa kadaluwarsa, namun memiliki rasa basi dan tekstur menggumpal. Kondisi itu menimbulkan dugaan kuat bahwa produk tidak layak konsumsi meskipun secara administratif masih dinyatakan aman edar.
“Susu tidak berbau, tapi rasanya basi. Setelah minum sedikit saya mual dan buang air besar cair sampai tiga kali,” ujar Ichwan.
Alih-alih dianggap sebagai insiden tunggal, pihak Alfamart justru mengakui bahwa keluhan serupa pernah terjadi berulang kali. Pengakuan ini disampaikan langsung oleh Tia, bagian Merchandising (MD) PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk wilayah Bandar Lampung.
“Kasus seperti ini sebelumnya juga pernah ada satu dua tiga konsumen yang komplain,” kata Tia saat ditemui di kantornya, Jumat (26/12/2025).
Pengakuan tersebut memperkuat indikasi bahwa persoalan produk rusak bukan kejadian yang bersifat insidental, melainkan berulang di tingkat ritel. Produk yang dikeluhkan berada langsung di rak penjualan dan berpotensi dikonsumsi oleh publik dalam jumlah lebih luas sebelum adanya penanganan.
Meski mengakui adanya keluhan berulang, tidak terdapat keterangan mengenai penghentian penjualan sementara, pemeriksaan batch produk, maupun penarikan barang sejenis dari rak. Penanganan kasus justru diarahkan pada mekanisme penggantian individual dan pelimpahan tanggung jawab kepada pihak supplier.
Pola tersebut menunjukkan bahwa pengawasan keamanan pangan di tingkat gerai ritel belum berjalan secara memadai dalam aspek pencegahan.Ketika produk bermasalah ditemukan, tidak ada informasi mengenai langkah korektif terbuka untuk memastikan keamanan konsumen lain.
Bahrudin, selaku Area Coordinator Alfamart Gerai Endro Suratmin 2, menyampaikan permintaan maaf dan menyebut produk telah ditukar bahkan ditukar dengan jumlah barang lebih dari barang yang di beli oleh konsumen. Namun tidak ada penjelasan mengenai evaluasi internal, audit distribusi, atau tindakan pencegahan lanjutan di tingkat toko.
Upaya konfirmasi juga di lakukan kepada layanan konsumen supplier susu belum mendapatkan respons sampai saat ini.
Kasus ini memperlihatkan kemiripan dengan temuan sebelumnya. Targetjurnalis.com pada (5/12/2025).
pernah memberitakan produk bermasalah di gerai Alfamart Lampung Timur yang juga diselesaikan secara kekeluargaan tanpa penjelasan publik mengenai langkah korektif sistemik.
Kesamaan pola tersebut memperkuat dugaan bahwa penanganan keluhan konsumen masih berfokus pada meredam persoalan di tingkat individu, bukan pada pencegahan risiko yang berpotensi merugikan masyarakat luas.
Secara hukum, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa pelaku usaha wajib menjamin mutu barang yang diperdagangkan (Pasal 7) dan dilarang memperdagangkan barang rusak atau tercemar (Pasal 8). Pasal (19) juga mengatur kewajiban pemberian ganti rugi atas kerugian konsumen, termasuk dampak kesehatan.
Selain itu, ketentuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mewajibkan setiap dugaan pangan rusak yang berpotensi membahayakan kesehatan untuk dilaporkan guna penelusuran batch, evaluasi distribusi, dan penarikan produk.
Dalam konteks ini, tanggung jawab keamanan pangan tidak berhenti pada produsen, melainkan melekat pada pelaku usaha ritel yang secara aktif menjual produk kepada publik.
Berulangnya kasus dengan pola penanganan serupa menempatkan pertanyaan serius pada efektivitas sistem pengawasan keamanan pangan di jaringan ritel modern, khususnya Alfamart, yang memiliki jangkauan luas dan bersentuhan langsung dengan konsumen setiap hari. (Msr)





