Oleh: Iqbal Seftiawan (Jurnalis & Pemuda Penggiat Anti Korupsi)
Di banyak daerah, cerita tentang elpiji 3 kg nyaris selalu sama: warga membeli di atas HET, stok di pangkalan resmi sering “habis”, lalu seolah tanpa pilihan mereka dipaksa belanja ke pengecer dengan harga yang kadang mencapai dua kali lipat. Pola ini bukan sekadar kebetulan. Ia lahir dari celah pengawasan dan permainan oknum yang memanfaatkan subsidi negara untuk keuntungan segelintir pihak.

Bila ditarik ke hulu, indikasi keterlibatan oknum membuat para pemain bisa bergerak leluasa, bahkan terang-terangan, tanpa rasa gentar terhadap sanksi. Di lapangan, publik kerap bertanya: mengapa otoritas seperti “tenang-tenang saja”, seakan semua normal? Jawaban paling jujur: pengawasan pemerintah pusat ke daerah lemah, respons banyak instansi setengah hati, dan penegakan aturan sering berhenti sebagai jargon.
Modusnya pun berulang. Ada pengondisian penginputan data KTP dengan dalih mempercepat penyaluran, tetapi justru menjadi pintu permainan kuota. Ada distribusi malam hari yang sunyi dari pantauan warga, sehingga suplai ke pengecer bisa berlangsung dalam jumlah besar. Ada pangkalan yang berburu kuota tambahan dari sesama pangkalan atau agen lain dengan harga lebih tinggi. Dan ada “sidak” yang terasa formalitas: ketika warga menyetor foto atau video temuan, bukti itu kerap dibilang “tak cukup kuat” sementara diminta pula warga mengambil rekaman yang lebih eksplisit, yang pada praktiknya berisiko membenturkan masyarakat dengan para pelaku. Padahal, itu tugas dan tanggung jawab aparat serta regulator.
Ketegasan juga sering timpang. Contohnya, saat pangkalan kedapatan menyalurkan ke pengecer, pangkalan bisa langsung ditutup; tetapi agennya tetap berjalan, seolah tidak tahu-menahu. Padahal jika aturan ditegakkan konsisten, baik sanksi administratif maupun pidana semestinya menyentuh seluruh mata rantai yang terbukti terlibat.
Secara hukum, pijakannya jelas. Pasal 55 UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (sebagaimana diubah oleh Pasal 40 angka 9 UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja) menyatakan setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga BBM, BBG, dan/atau LPG yang disubsidi pemerintah dipidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi Rp60 miliar. Pasal 62 jo. Pasal 8 ayat (1) UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen juga mengancam pelanggar hingga 5 tahun penjara dan denda paling banyak Rp2 miliar. Bahkan, dalam praktik, penelusuran Kejari Belitung atas dugaan penyimpangan distribusi elpiji 3 kg menunjukkan pendekatan lain yang relevan: jika ditemukan kerugian negara dan ada pihak yang diuntungkan, maka perkara berpotensi masuk ranah tindak pidana korupsi.
Karena itu, solusi tidak bisa lagi berhenti pada imbauan. Negara harus hadir secara operasional dan konsisten. Beberapa langkah konkret berikut patut ditempuh segera:
1. Libatkan KPK—termasuk Satgas Wilayah—untuk mengawal kebijakan HET dan arsitektur pengawasan distribusi, sekaligus mencegah conflict of interest dan praktik rente di daerah.
2. Lakukan pemeriksaan acak (random spot check) di lintasan distribusi—gudang agen, pangkalan, hingga titik pengecer—tanpa pola yang mudah ditebak, siang dan malam.
3. Evaluasi berkala dan beri punishment tegas terhadap pejabat/oknum yang menghambat atau bermain mata; rotasi bila perlu, penindakan bila terbukti.
4. Jatuhkan sanksi setara ke semua mata rantai (agen dan pangkalan) yang menjual di atas HET, melakukan suplai ilegal, atau memanipulasi kuota—hingga pencabutan izin dan proses pidana.
5. Bongkar jejaring backing—telusuri aliran manfaat, siapa melindungi siapa, dari level operasional sampai pengambil kebijakan.
6. Audit kebijakan kuota & HET—pastikan basis datanya valid, mekanisme verifikasi tidak bisa dikondisikan, dan seluruh proses terekam digital end-to-end dengan jejak audit yang bisa ditelusuri.
Subsidi elpiji 3 kg adalah hak warga yang paling rentan. Setiap botol gas yang “bocor” ke pasar gelap adalah pengkhianatan terhadap anggaran negara dan akal sehat publik. Saatnya berhenti menyalahkan “panic buying” dan mulai menutup semua celah permainan—dengan pengawasan nyata, penindakan nyata, dan keberpihakan yang nyata kepada rakyat.
(Red)





