Bandar Lampung — Di bawah cahaya ruko yang tak pernah benar-benar tidur, kota menyembunyikan rahasia paling sunyi. Trotoar menjadi ranjang, kardus menjelma selimut, dan malam memeluk perut-perut kosong tanpa janji pagi. Anak-anak terlelap lebih cepat dari seharusnya, bukan karena mimpi indah, melainkan karena lapar mengajari mereka cara bertahan dalam diam.
Kota berjalan seperti biasa. Lampu menyala, kendaraan melintas, etalase berkilau. Sementara di sudutnya, hidup menyempit dan menahan napas. Pemandangan ini bukan anomali ia berulang, setia, nyaris menjadi bagian dari lanskap. Namun kita sering menamainya dengan kalimat paling ringkas dan paling aman (Takdir Tuhan).
Padahal Tuhan tak pernah menitipkan manusia pada trotoar. Tak ada wahyu yang menyuruh anak tidur dengan perut kosong. Kemiskinan terlebih kelaparan bukan titah langit. Ia tumbuh dari bumi yang dikelola manusia tanpa empati, dari sistem yang berjalan rapi di atas tubuh-tubuh yang tertinggal.
Angka-angka kemudian datang, seperti hujan yang turun tanpa benar-benar membasahi. BPS Provinsi Lampung mencatat bahwa pada Maret 2025, kemiskinan turun menjadi 10,00 persen, dari 10,62 persen setengah tahun sebelumnya. Sekitar 887 ribu jiwa masih berada di bawah garis itu. Di kota, persentasenya lebih kecil 7,49 persen. Bahkan Bandar Lampung dipuji 6,95 persen, terendah di provinsi.
Angka-angka ini rapi. Terukur. Nyaris menenangkan. Ia dibacakan di ruang-ruang berpendingin, ditayangkan di layar presentasi, seolah menandai keberhasilan. Namun angka tak pernah mengenal rasa lapar. Ia tak tahu bagaimana rasanya menunda makan, atau menidurkan anak agar lupa bahwa dapur kosong.
Teringat bisikan Antonio Gramsci yan terasa hidup. Gramsci berkata, kekuasaan tak selalu memerintah dengan paksaan ia bekerja lebih halus, melalui hegemoni melalui cara berpikir yang dibentuk perlahan. Ketimpangan lalu tampak wajar. Kemiskinan diterima sebagai nasib. Dan ketika grafik menurun, kita diajak percaya bahwa segalanya baik-baik saja.
Gramsci pun berbicara tentang struktur dan suprastruktur. Struktur menentukan siapa bekerja, siapa tersisih, siapa makan, siapa menahan lapar. Suprastruktur bahasa, wacana, keyakinan membungkus ketimpangan agar tampak alamiah. Di sanalah kemiskinan kehilangan suaranya ia disucikan sebagai takdir, bukan dibongkar sebagai masalah.
Ironisnya, data sendiri mengaku lirih. Garis kemiskinan kota tetap tinggi. Biaya hidup merangkak naik, harga pangan menjauh dari jangkauan, sementara pekerjaan semakin rapuh. Banyak yang selamat dari tabel statistik, tetapi tersandung dalam hidup nyata berdiri di tepi lapar, setiap hari.
Ketika kemiskinan disebut takdir, sistem pun lolos dari pengadilan nurani. Kebijakan tak lagi digugat. Ketimpangan tak lagi dipertanyakan. Tuhan diminta menanggung beban yang seharusnya dipikul manusia.
Selama di trotoar Bandar Lampung masih ada keluarga yang memeluk malam dengan perut kosong, penurunan angka belum pantas dirayakan. Kemiskinan bukan sekadar data. Ia adalah luka yang berjalan pelan Pertanyaan yang mesti kita ajukan bukan berapa persen kemiskinan turun, melainkan siapa yang masih lapar ?. (Sr)





